Kamis, 19 Desember 2013

Kenapa Doa Kita Tidak Dikabulkan?

Tulisan ini saya ambil dari kultwinya Awy' Ameer Qolawun (@awyyyyy), silakan disimak jika berkenan.

Hari Jumat (dan malamnya) adalah waktu dan momentum yang tepat untuk memanjatkan doa apapun yang kita inginkan.

Dikatakan dalam suatu hadits bahwa di hari jumat ada jam-jam yang dirahasiakan dan jika doa seseorang tepat pada jam itu maka doanya terkabul.

Banyak diantara kita mungkin mengeluh atau membatin dalam hati kenapa selama ini berdoa tapi tak kunjung terkabul?

Sebenarnya perasaan seperti ini tidak tepat dan justru perasaan inilah yang malah menghambat terkabulnya doa itu sendiri karena dosa.

"Lho, masa perasaan kek gitu dosa?" Ya, sebab secara tidak langsung meragukan janji Allah yang telah pasti.

Bukankah Allah telah berfirman, "Ud'uni, astajib lakum"? Mintalah, berdoalah kepada-Ku, pasti Aku kabulkan.

Sementara Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya. Maka, sebenarnya yang perlu kita lakukan adalah berdoa dan sabar menunggu jawaban dari doa itu.

Karena tentu saja terkabulnya suatu doa itu melihat waktu dan kesiapan kita menerima jawaban doa itu, dan hal ini hanya Allah yang mengetahui.

Namun disana ada beberapa hal dan faktor yang bisa membuat suatu doa cepat terkabul, ini yang penting untuk kita ketahui.

Istilahnya Imam Ibnu Atho-illah as-Sakandary, doa itu mempunyai rukun, sayap, waktu dan sebab.

Jika doa itu menepati rukunnya, maka kuatlah doa itu. Jika menepati sayapnya, maka doa itu akan terangkat. Jika menepati waktunya, doa itu segera melesat, dan beruntunglah yang berdoa itu. Jika menepati sebab-sebabnya maka doa itu akan sukses terkabul.

Yang dimaksud rukun doa adalah saat berdoa tubuh kita dalam keadaan bersih, menghadap kiblat, duduk dengan khusyu', menunduk, dan mengangkat tangan. Itu tadi baru dari segi fisik. Dari segi batin, rukun doa adalah hati & pikiran terkonsentrasi sepenuhnya pada Allah, penuh pengharapan & malu pada-Nya.

Adapun sayap doa adalah meminta dengan bersungguh-sungguh, ada usaha fisik demi tergapainya doa itu, dan selalu berusaha makan yang halal. Sebab makanan dan pakaian halal cukup berpengaruh sekali dengan terkabulnya doa. Makanan/pakaian haram adalah salah satu penghambat terkabulnya doa.

Sedangkan waktunya doa adalah saat kosongnya hati dan pikiran dari selain Allah. Jam yang sangat tepat untuk ini adalah sepertiga malam terakhir. Atau saat usai sholat, saat sujud. Atau saat di tempat-tempat mustajabah semisal masjid, atau malam semisal jumat, dll.

Kalau sebab terkabulnya doa cukup banyak, tetapi yang terbesar adalah kita tidak meninggalkan membaca sholawat saat awal & akhir doa.

Maka jika kita bisa menyatukan rukun, sayap, waktu, dan sebab dalam doa kita, tentu saja peluang cepat terkabulnya suatu doa akan lebih besar.

Yang sangat penting juga adalah kemantapan akan terkabulnya doa itu. Karena jika ada keraguan dalam diri seseorang saat berdoa, malah doanya menjadi macet. Dan kesalahan-kesalahan semisal ini sering sekali terlintas tapi tidak disadari oleh yang berdoa.

Setelah mengetahui seperti ini, diharapkan tak ada rasa putus asa lagi jika doa belum juga terkabul, meski telah minta bertahun-tahun.

Teladan soal ini adalah Nabi Musa, ada doa beliau yg baru dikabulkan Allah setelah 40 tahun. Dan beliau tidak bosan serta sabar berdoa.

Alhasil Allah Yang Maha Mengetahui kapan waktunya doa, dan tak jarang baru kita berdoa saat itu juga dikabulkan. Karena semua sudah tersiapkan.

Semoga menambah ilmu, saatnya memanfaatkan hari jumat dengan sebaik-baiknya untuk berdoa. Khususnya setelah ashar sampai maghrib, karena itu waktu yang tepat, waktu yang selalu dimanfaatkan sebaik-baiknyanya oleh putri tercinta Nabi, Fathimah Azzahra'.

Akhir kata, jangan bosan & jangan putus asa saat berdoa. Sebab orang yang terus menerus mengetuk pintu, pada akhirnya pasti akan dibukakan.

Wa mudminut thorqi laa budda an yalija. Wallahu subhanahu wa ta'ala a'lam.

Rabu, 18 Desember 2013

Beda Pendapat

Dua malaikat, malaikat pembagi anugerah dan malaikat petugas siksa sedang berselisih pendapat perihal seorang Bromocorah yang telah membunuh 100 jiwa, apakah disiksa atau diampuni dosanya? Mengingat si pembunuh hendak bertaubat namun belum sempat karena keduluan ajal menjemput.

Nabi Daud berbeda pendapat dengan Nabi Sulaiman, perihal cara memberi keputusan kepada kedua wanita yang saling memperebutkan anak dan sama-sama mengaku sebagai ibunya.

Para sahabat Nabi berbeda pendapat soal perintah Nabi tentang shalat ashar di Bani Quraidhah.

Lain dari itu, Ibnu Umar selalu mengambil hukum-hukum yang berat, sementara Ibnu Abbas banyak mengambil hukum yang ringan.

Abu Bakar dan Umar pun pernah berselisih pendapat soal apa.sikap yang diambil untuk menanggulangi orang-orang murtad dan para pembangkang.

Jika kita membaca sejarah para salaf shalih kita, kita akan temukan contoh perbedaan pendapat yang banyak sekali di antara mereka.

Kenapa saya tuliskan contoh-contoh di atas? Agar kita tahu bahwa perbedaan pendapat itu sesuatu yang pasti terjadi, ia adalah hal yang dikehendaki Allah untuk makhluknya, bahkan diantara manusia-manusia terbaik pilihan-Nya.

Namun yang terpenting dan yang harus kita ketahui adalah, bagaimana cara kita bersikap dengan perbedaan pendapat itu sendiri?

Apakah saat kita berbeda pendapat dengan seseorang dalam suatu masalah, lantas perbedaan itu membuat kita saling benci dan saling bermusuhan? Atau saling olok? Saling tidak menyapa, memutus tali persaudaraan? Atau malah sampai meragukan i'tikad dan keyakinan seseorang tersebut?

Jika kita dalam menyikapi perbedaan pendapat masih seperti itu, maka itu sama sekali bukan manhaj (sistem) yang dikembangkan sahabat Nabi dalam menanggapi perbedaan pendapat.

Sama sekali bukan cara yang kita inginkan, terlebih untuk mengembalikan kejayaan Islam kembali.

Karena kita melihat banyak sekali perbedaan pendapat diantara sahabat-sahabat Nabi, tetapi hati mereka tetap satu, mereka berbeda pendapat namun saling menyayangi, tidak ada diantara mereka yang saling mengkafirkan satu terhadap yang lain, tidak saling benci, tidak saling menuduh salah satunya sebagai orang sesat.

Jadi di antara mereka tetap terjalin sikap saling menghormati meskipun berbeda pendapat.

Bahkan meski sampai terjadi pertempuran salah paham sekalipun seperti yang terjadi antara Imam Ali dan Mu'awiyyah! Keduanya tetap saling menghormati dan mengakui kelebihan masing-masing.

Karena jika kita memperhatikan yang terjadi saat ini, diantara permasalahan dasar ummat ini adalah bahwa sebagian orang mempunyai keinginan agar kita tidak saling berbeda pendapat selamanya, agar kita selalu sepakat, tauhidul fikroh (penyatuan pemikiran) dalam setiap hal tanpa kecuali.

Dan jika terjadi perbedaan pendapat dalam hal sekunder, semisal hal furu'iyyah seolah telah terjadi bencana besar, dan mulai mengganggap yang berbeda pendapat dengan telah sesat dan kafir!

Target untuk "tidak berbeda pendapat sama sekali" adalah target yang salah dan hanya mimpi di siang bolong serta tak akan pernah terwujud selamanya, sebab kita adalah manusia yang mempunyai tata cara berpikir masing-masing.

Lantas apa yang dianjurkan? Target yang harus kita tuju adalah menyikapi perbedaan pendapat dengan tetap saling menghormati, dan alangkah baiknya kita menerapkan kaidah Imam Syafi'i soal beda pendapat.

Kata beliau, "pendapatku bagiku benar, namun bisa saja salah. Sedang pendapat selainku, bagiku salah, namun bisa saja benar."

Target yang perlu kita gapai dalam menanggapi perbedaan pendapat adalah, "kita saling membantu terhadap hal yang saling kita sepakati, dan saling memaafkan di antara kita terhadap hal yang kita saling berbeda pendapat."

Ironisnya, justru Eropa dan Amerika yang menerapkan prinsip ini dalam keseharian mereka, sementara kita tidak menjalankannya sama sekali di era ini.

Padahal mereka saling berbeda dalam bahasa, budaya, keyakinan tetapi mereka bisa saling membantu terhadap hal yang mereka sepakati semisal penggunaan mata uang Euro, atau bisa ke negara manapun di Eropa dengan Schengen Visa.

Padahal kita sebenarnya saling sepakat dalam banyak hal, tetapi kita tidak bisa saling bantu, terlebih jika di antara kita saling berbeda aliran.

Apa yang kita lihat? Sangat menyedihkan. Padahal seharusnya selama seseorang itu bersyahadat, sholat menghadap kiblat, maka dia adalah saudara kita, meski dia Sufi, atau Salafi, atau Syiah, atau Ikhwan, atau Jama'ah Tabligh atau Liberal; seluruhnya tetap sama, Muslim.

Sekali lagi, bahwa di antara penyebab kemurtadan adalah sebab saling cakar saat terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh umat Islam.

(Dikutip dari Awy' Ameer Qolawun)

Selasa, 17 Desember 2013

Berjilbab Tak Ada Hubungannya Dengan Akhlak

Dalam pandangan masyarakat kita, wanita berjilbab selalu diidentikkan sebagai wanita yang santun, kalem, rajin shalat, rajin bersedekah, sering hadir di majelis pengajian, dan berbagai predikat kesalehan lainnya.

Boleh jadi (dan faktanya) sebagian besar wanita berjilbab memang seperti yang dipersepsikan masyarakat.

Sebaliknya, muslimah yang tak berjilbab, meski akhlaknya baik, tentu saja dipandang tak sebaik muslimah berjilbab.

Ini tentunya merupakan hal yang lumrah dan spontanitas muncul dalam benak masyarakat.

Akibatnya, jika kebetulan ada wanita berjilbab melakukan sesuatu yang kontradiktif dengan persepsi jilbab yang dikenakannya, maka sebagian besar masyarakat langsung mengaitkannya dengan jilbab yang dia kenakan.

Tindakannya itu dianggap tidak sesuai dengan jilbabnya. Lantas muncullah suara miring seperti, "Pakai jilbab, tapi kelakuannya seperti itu."

Karena hal inilah, dampaknya adalah sebagian muslimah yang belum berjilbab memilih tetap bertahan pada pilihannya untuk tidak mengenakan jilbab.

Mereka berpikiran sangat sederhana sekali, "Daripada tidak bisa menjaga sikap saat mengenakan jilbab, lebih baik aku tidak mengenakannya sekalian, biarlah aku menjilbabi hatiku terlebih dahulu, nanti saja pakai jilbab kalau sudah tua, mau wafat."

Atau muncul slogan unik, "Lebih baik pakai rok mini tapi bermental jilbab, daripada pakai jilbab tapi bermental rok mini."

Sebenarnya pengkonotasian pasti antara jilbab dengan keshalehan, merupakan pemahaman yang kurang tepat dalam masyarakat kita dalam memandang hubungan antara jilbab dengan akhlak.

Karena pada dasarnya sudah seharusnya muslimah yang shalihah menjalankan agamanya dengan baik dan mengaplikasi perintah agama dalam kehidupan sehari-harinya, salah satunya adalah memakai jilbab.

Tetapi saya bisa mengatakan, bahwa sebenarnya tak ada hubungan sama sekali antara jilbab dan berakhlak baik.

Berjilbab adalah murni perintah agama yang diberikan kepada kaum muslimah, tanpa melihat apakah moralnya baik atau buruk.

Jadi selama dia muslimah, berjilbab adalah kewajiban.

Tentu saja ada muslimah tak berjilbab, tapi itu adalah pilihan dia.

Nah, setiap pilihan tentu ada konsekuensinya, dan risiko tidak mengikuti intruksi syariat tentu saja ada sanksinya, dan sanksi syariat atas pelanggaran adalah dosa.

Memang, bermoral baik adalah tuntutan sosial, di samping tentu ajaran agama.

Namun pada dasarnya pelaksanaan segenap taklimat agama yang berhubungan dengan perintah dan larangan (salah satunya tentang jilbab) adalah permasalahan menyendiri yang berhubungan dengan ketundukan seorang hamba pada Tuhannya.

Artinya, berakhlak baik tidak ada hubungan langsung dengan itu, meski tentu secara implisit dari sudut pandang lain berkorelasi dan terkait erat.

Contoh mudahnya, meski penjahat sekalipun, ia tetap wajib menunaikan shalat. Bukan lantas karena jahat sehingga shalat tidak wajib baginya.

Okelah mungkin seorang muslimah yang belum berjilbab bilang cukup saya jilbabi hati saja dulu. Tetapi dia tetap harus mengakui bahwa berjilbab adalah wajib baginya. Siap tidak siap, baik tidak baik, kewajiban muslimah adalah berjilbab (dalam konteks bahasa yang lebih umum, menutup aurat)

Jadi kalau kita surfing di internet dan kebetulan menemukan judul-judul aneh semacam "Jilbab Bugil", "Berjilbab Tapi Telanjang", "Sex Jilbab", "Skandal Bokep Gadis Jilbab",

Atau di keseharian kita menemukan cewek berjilbab tapi bergaulnya dengan lawan jenis sangat Laa Haula wa laa quwwata illa billah, ngakak-ngakak, meluk-meluk, menggelayut manja pada lawan jenis, jalan bergandengan, bergoncengan;

Atau akhir-akhir ini kita kerap menemukan berita muslimah berhijab (bahkan bercadar) yang terlibat kasus korupsi dan narkoba; maka jangan cepat-cepat menyalahkan jilbabnya.

Karena dampak negatif generalisasi perspektif seperti itu adalah muslimah lain yang baik-baik dan berjilbab akhirnya menjadi objek omongan dan kecurigaan tak berdasar. "Jangan-jangan seperti itu juga."

Karena sekali lagi, moralitas tak ada hubungan dengan jilbab, meski tentu saja dituntut dari gadis berjilbab untuk bermoral sesuai dengan jilbabnya.

Jadi, kesimpulannya, jilbab adalah wajib dikenakan tiap muslimah yang telah memasuki usia baligh, tanpa melihat apakah moralnya baik atau jelek.

Dan moral adalah sesuatu yang sangat dituntut dalam kehidupan sosial sekaligus sebagai bentuk ihsan dalam beragama.

Maka, itu yang harus diketahui setiap muslimah terlebih dahulu. Adapun setelahnya jika dia tidak mengenakan, tentu saja berkonsekuensi dosa dan ada keharusan dari yang lain mengingatkan muslimah tadi untuk mengenakan jilbab.

Kalaupun si muslimah tadi tetap belum berkenan mengenakan, maka yang menasehati bebas tugas.

Dan tentu saja sebaliknya, jika dia mengenakan jilbab, maka pahala akan terus mengalir padanya selama jilbab itu bertengger di kepalanya, sebagai bentuk balasan atas ketaatan menjalankan perintah agama.

Soal jilbabnya lebar, kecil, bajunya ketat, longgar, itu bab menyendiri lagi yang berhubungan dengan tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang.

Akhirnya, muslimah yang berjilbab dan berakhlak baik tentu saja adalah muslimah sempurna.

Adapun muslimah yang berjilbab namun akhlaknya tidak baik atau akhlaknya baik tetapi belum berjilbab adalah muslimah yang belum sempurna dan sedang berproses menuju kepada kesempurnaan.

Semoga kita selalu diberi Allah anugerah taufiq untuk kebaikan, dan menjalankan kewajiban agama kita sebaik-baiknya.Amin...

(Dikutip dari Awy' Ameer Qolawun)